Api di Dalam Qolbu

Jari, Melodi, & Memory

 




Udara pagi sejuk menyelimuti bumi saat itu, kaca jendela berembun berbekas selayak jarak yang pernah tercipta tanpa kompromi, semua begitu berjalan dengan cepat dan tak dapat terlihat. Waktu selalu memiliki kuasa sendiri tanpa mengenal situasi, siap tidak siap, mau tidak mau, rela tidak rela, dipaksa menelan kenyataan yang sering bertolak belakang dengan ekspektasi. Terkadang hidup memang hanya perlu ditertawakan ketika semuanya berjalan sesuai alur yang tidak terencana, apalah daya kita selaku hamba?, Serahkan kepada-Nya yang Maha Kuasa. Begitu banyak hal terasa sangat berharga saat kita mulai merenungi inci demi inci waktu yang telah kita lalui, melewati segala problematika sehingga memaksakan diri untuk tetap berdiri. Tak apa, itu hanya sebagian kecil dari kehidupan yang sebenarnya, masih banyak rintangan dihadapan sana setelah kita merasa bahwa hari ini baik-baik saja.

            Polemik dari diri memang selalu rumit, terkadang diri kita sendiri pun susah untuk mengerti apa yang dimaui, bagaimana mau mengerti orang lain sedangkan mengerti kepada diri sendiri saja sudah setengah mati. Semua hanya perlu dinikmati saja tak perlu terlalu disesali.

“'Cause there'll be no sunlight if I lose you, baby there'll be no clear skies if I lose you, baby just like the clouds my eyes will do the same, if you walk away everyday it will rain” lagu dari Bruno Mars menjadi pembangun untuk Puspa setiap pagi, baginya lagu itu mewakili perasaannya belakangan ini karena suasana hatinya terwakili oleh lirik yang dalam.

“Hahhh…” Puspa terbangun dari tidurnya sembari merentangkan tangannya ke atas seraya meraih handphone untuk mematikan alarm, diliriknya jam dinding yang menunjukan pukul 06:30.

“Gawat, aku kesiangan ini pasti. Duh… kenapa harus jam segini bangunnya astaga, kan jadi repot.” Puspa ngomel-ngomel sendiri dalam hatinya karena terbangun kesiangan untuk berangkat ke sekolah.

Disabetnya handuk yang tergantung di pintu kamarnya seraya nyelonong menuju kamar mandi. Kira-kira hampir 15 menit Puspa berdandan untuk berangkat ke sekolah, setelah itu langsung tancap gas mengendarai vespa matic-nya menuju sekolah. Saat mengendarai motornya Puspa memastikan buku-buku pelajaran hari ini terbawa semua, karena semalam Puspa tidak ingat setelah asyik menumpahkan kekesalan kepada temannya Dea lewat telfon di Telegram. Belum kelar memastikan buku pelajaran, Puspa melihat seseorang yang sedang bermain gitar di warung kopi, hal itu membuat pikiran Puspa menjadi lebih kacau karena dia memiliki kenangan manis dengan benda itu.

“Teeet… Teeet… Teeet, udah lampu hijau, Neng. Maju, jangan ngelamun aja masih pagi.” Teriak bapak-bapak yang menunggu Puspa maju di lampu merah. Benar-benar kacau pikiran Puspa hari ini hanya karena melihat seseorang sedang bermain gitar saja. Bukan masalah gitar atau bendanya, bagi Puspa, gitar adalah lebih dari apa yang bisa menggambarkan rasa sayangnya kepada seseorang yang pernah begitu dia cintai. Puspa masih belum bisa melupakan Rendi sepenuhnya, ketika dengan lembut Rendi menyanyikan lagu untuknya di depan halaman rumahnya yang dihiasi bunga-bunga cantik malam hari, begitu banyak moment yang telah dilalui oleh Puspa dengan gitar dan orang itu, sehingga melodi-melodi yang dihasilkan jari-jemari Rendi masih terekam jelas dalam memori.

“Eh… i-iya, Pak, maaf.” ucap Puspa dengan gugup karena sudah membuat orang lain mengantri menunggu Puspa maju, begitu juga dengan bunyi klakson yang menambah kegugupannya.

 

 

Sampailah Puspa disekolahnya, yang sebenarnya Mang Agus sudah ingin menutup gerbangnya.

“Hah… untunglah aku ga terlambat, syukurlah. Makasih ya, Mang. Udah dibukain lagi gerbangnya.” Puspa langsung mencopot helm-nya dengan terburu-buru dan menenteng tas yang disimpan di depan ­­deck motor.

“Meni buru-buru gitu atuh, Neng. Nanti jatuh hati-hati ah.” kata Mang Agus yang melihat Puspa terburu-buru.

“Iya nih, Mang. Kesiangan, takut guru-nya udah masuk kelas.” jawab Puspa panik dan memberikan kunci motornya kepada Mang Agus untuk dititipkan. Memang ini sudah menjadi kebiasaan Puspa menitipkan kunci motornya kepada Mang Agus karena sering kali Puspa lupa menaruh kunci motornya sendiri.

“Gabakalan atuh, Neng. Lagi pada rapat dulu tadi teh Mamang lewat kedepan ruang guru mah, mau bahas kurikulum yang baru denger-denger mah.” Mang Agus berusaha menenangkan Puspa supaya tidak terburu-buru.

“Syukur atuh, Mang. Kalo gitu mah, udah cape buru-buru ini teh, mana ga sempet sarapan dulu.” Puspa mengomel seraya merogoh tasnya untuk mengecek buku pelarajaran hari ini memastikan agar tidak tertinggal di rumahnya.

“Puspaaa…” teriak Dea teman yang semalam menjadi korban kekesalan Puspa. Dea menghampiri Puspa.

“Eh, De…hari ini tuh pelajaran apa aja sih, De?” tanya Puspa ragu karena khawatir salah membawa buku pelajaran.

“Dih, parah banget kamu. Padahal semalem sama aku udah di ingetin, sekarang tuh pelajaran seni budaya, matematika, sama biologi. Kenapa emang? Jangan-jangan kamu salah bawa buku lagi, hayoloh!” jawab Dea ketus karena semalam sebenarnya Dea sudah memberi tahu pelajaran apa saja hari ini di sambungan telfon.

“Aku banyak beruntung banget hari ini sumpah, De. Untunglah bukunya aman semua ga salah masukin pas malem.” timpal Puspa dengan nada yang tenang dari khawatir.

“Ya lagian, suruh siapa mikirin Rendi terus, kan gini jadinya. Kamu jadi bego-bego gimana gitu.” ledek Dea seraya berjalan berdua menuju ke kelasnya. Dea selalu menjadi tempat curhat Puspa dari pertama Puspa begitu dekat dengan Rendi sampai sekarang menjadi asing. Orang yang mengenalkan Rendi kepada Puspa pun adalah Dea, karena Rendi adalah saudaranya Dea.

Puspa dan Rendi menjalin hubungan dari kelas 1 sampai kelas 2, bukan waktu yang singkat bagi Puspa karena begitu banyak kenangan dan pelajaran yang di dapatkan Puspa selama menjalin hubungan dengan Rendi. Puspa sadar dirinya terlalu egois, ingin terlalu memiliki Rendi sampai lupa bahwa Rendi pun mempunya kehidupan yang tak bisa diatur-atur oleh orang lain. Hal yang selalu diingat Puspa adalah tentang filosofi gitar yang pernah diutarakan Rendi, “Melodi yang indah bisa tercipta karena ada alat musik, seperti gitar. Namun gitar bisa menghasilkan melodi yang fals jika berada di tangan yang tidak tepat.” Dengan perkataan Rendi yang seperti itu, Puspa merasa dialah orang yang tidak tepat untuk mengasilkan melodi yang indah. Begitu banyak rasa egois untuk memiliki sesuatu tanpa tahu bagaimana caranya agar menjadikannya indah, terkadang kita hanya menuruti keegoisan kita saja dengan bertamengkan kasih sayang kepada orang lain tanpa memikirkan orang yang kita sayangi. Apakah benar-benar merasa disayangi atau merasa disakiti dengan kasih sayang yang kita beri? Ibarat dua sisi koin, setiap manusia memiliki pandangan tersendiri, tak perlu memaksakan kehendak kita jika memang itu tak cocok. Bukankah puncak rasa sayang itu tak hanya sekedar berkata-kata? Bagaimana jika rasa sayang itu kita selipkan dalam doa? Apakah puncak dari rasa sayang itu harus selalu memiliki? Jika sudah dimiliki lalu apa kasih sayangnya? Memang begitulah hidup, sejatinya kita tak akan pernah merasa puas terhadap sesuatu jika hanya mengandalkan nafsu, bijaksana dalam memberikan kasih sayang kepada semua orang adalah suatu porsi yang pas bagaimana cara mengaplikasikan kasih sayang yang tak hanya sebatas kata. Menurutku kasih sayang tak perlu di deklarasikan, cukup diyakini bahwa hatiku adalah hatiku, hatimu adalah hatimu dan kati kita adalah milik-Nya.

 

…………….

Ditulis oleh: Pria yang sedang mencoba untuk tidak menjadi dirinya sendiri

Comments