Api di Dalam Qolbu

Kebelengguan Diri

 


 Ini kisahku, yang menerima dan memberi canda tawa, yang menerima dan memberi luka, yang menerima dan memberi kesedihan,  yang menerima dan memberi kesempatan, yang menerima dan memberi sedikit cinta. Takdir terkadang begitu kejam,  orang-orang yang satu persatu pergi menciptakan sunyi hingga terasa sendiri. Pertanyaan-pertanyaan yang bermunculan terkadang tanpa menemukan jawaban,  berlari dan terus berlari tanpa tau arah tujuan.  Insan-insan dengan beragam topeng,  kicauan senandung merdu, memandang langit melihat kilauan. Besar... Sangat besar sekali dunia yang aku tempati. Ini aku,  kisah ini tentang aku,  Chika Berlina.

     Seorang perempuan duduk termenung di pinggir lorong kelas.  Ia Chika Berlina,  tanpa mempedulikan sekitarnya ia tetap merenung.  Ia hidup berpindah-pindah,  hingga ia bertemu berbagai macam karakter orang. Ia berlari ketakutan mendengar suara... Ya suara.  Suara itu terdengar menakutkan, ia berfikir apakah suara itu dapat berhenti? Ia terus berlari lagi-lagi tanpa mempedulikan sekitar. Hingga teriakan seseorang berdengung ditelingannya bersamaan dengan tertariknya tubuh ringkih ini. Ia menangis..  Ia takut... Tak ada yang mengerti dirinya,  mereka hanya bisa menghakimi.  Ia dimarahi,  terus dimarahi oleh seorang wanita dewasa yang berurai air mata.  Ia tau wanita tersebut khawatir pada dirinya, lagi-lagi tak ada yang bisa mengerti bahwa ia sangat takut.

     Ketika ia pulang bersama wanita dewasa yang disebut ibu,  ia lagi-lagi merenung. Ketika sampai di rumahnya,  lagi-lagi terdengar suara, namun dengan melodi berbeda.  Ia takut.. Sungguh takut ya tuhan. Ia berteriak.. Berlari bersembunyi dikolong meja makan sambil menutup kedua telinga.  Ia berfikir kapan suara itu berhenti,  apakah ia harus memotong telinganya supaya suara itu berhenti? Ya... Ia harus memotong telinganya. Ketika ia siap mengambil sebilah pisau, suara itu hilang ditelan renungan. Semenjak itulah ia bernama Chika Berlina. Bel berbunyi, ia langsung menyudahi renungannya dan kembali masuk ke kelas. Tak lama kemudian gemercik lonceng berbunyi pertanda pelajaran berakhir.

"Chik, sekarang langsung pulang lagi" sapa Aidan sahabat Chika yang duduk di belakangnya.

"Hmm"balas Chika, Aidan hafal betul sahabatnya ini. Ketika siswa lainnya bermain sehabis pulang sekolah.  Ia malah bergegas ke rumah, susah sekali mengajak sahabat satunya ini untuk melihat dunia luar. Lagi-lagi Aidan gagal membawa Chika melihat dunia, esok ia akan mencobanya lagi.  Mereka berjalan bersisian, jarak sekolah dengan rumah mereka lumayan dekat dan jarak rumah merekapun tidak terlalu jauh hingga mereka sering pulang bersama.

"Minggu lari pagi yuk Chik? "ajak Aidan sambil menatap lurus kedepan.

"Oke,  jemput"jawab Chika tidak mengundang keheranan bagi Aidan,  ya Chika keluar hanya untuk hal yang berbau olahraga ataupun buku saja. Mereka berjalan sambil mengobrol mengenai eskul pencak silat yang mereka ikuti. Banyak sekali kata dan ekspresi yang mereka keluarkan,   hingga tak sadar bahwa Aidan sudah sampai ke gang rumahnya meninggalkan Chika.

"Duluan ya... Hati-hati Chika"salam perpisahan Aidan yang sudah biasa ia ucapkan ketika akan berpisah dengan Chika. Sedangkan Chika hanya tersenyum sebagai jawabannya.

Setiap detik berlalu,  hari minggupun tiba. Tepat pukul setengah enam dini hari Aidan sudah berada di depan rumah Chika.

"Chika... Chika...Assalamu'alaikum"panggil Aidan dan tak lama kemudian Chikapun muncul. Mereka memakai pakaian senada. Mereka mulai pemanasan dan langsung berlari pelan,  namun tetap saja Chika tertinggal akhirnya Aidanpun mensejajarkan larinya dengan Chika. Ketika sampai diatas jembatan, mereka berhenti untuk melihat kendaraan berlalu lalang dan sunrise. Lagi-lagi Chika termenung.

"Chika... Jangan lupa suratnya kasihkan ke Bela"kata ibunya. Dengan segera ia bergegas menuju rumah Bela, Belapun sudah tak heran lagi ketika menerimanya.  Besok ia tidak bisa mengikut pelajaran seperti biasa,  besok adalah jadwal ia berkunjung ke rumah sakit guna memeriksa benjolan yang ada dilehernya. Awalnya ia mengira bahwa itu karena ia kekurangan yodium,  namun benjolan tersebut semakin besar dan terasa sakit.  Berbagai obat racik alami sudah ia coba,  namun hasilnya tetap sama.  Akhirnya ia terpaksa memeriksanya ke rumah sakit bersama sang ibu dan adik. Dari rumah sakit satu ke yang lain, mereka lakukan.  Hari ke enam ia tetap tidak berangkat sekolah, ia bersama keluarganya menuju ke rumah sakit yang berbeda lagi guna melakukan rontgen.  Mereka menunggu giliran,  ketika tiba waktunya ia mengetahui bahwa ternyata benjolan itu harus segera dioprasi atau disuntik untuk mengambil kelenjar tersebut di Bandung.  Walaupun jarak Sumedang ke Bandung tak begitu jauh.  Namun,  tetap saja kekhwatiran melingkupi mereka.

     Akhirnya mereka kembali pulang,  dan ayah berkata bahwa ia tidak boleh di operasi. Ia takut nyawa sang anak tak tertolong, berlebihan memang. Namun,  iapun tahu bahwa kedua orang tuanya khawatir kepadanya. Hari ketujuh tiba, sudah seminggu ia tidak bersekolah,  sekarang ia beserta sang ibu kembali mengunjungi rumah sakit yang berbeda.  Namun,  sekarang ia langsung menuju ruang bedah untuk menanyakannya.  Lagi-lagi hasilnya pun tetap sama,  ia harus segera di operasi.  Ia takut..  Sungguh takut.. Apakah ia akan meninggalkan keluarganya,  temannya bahkan Aidan juga?

"Hei...Chika.. Hallo"sapa Aidan sambil melambaikan tangannya didepan muka Chika. Akhirnya Chika tersadar dari lamunannya sambil memegang leher dimana benjolan tersebut masih ada.  Ya.. Ia hanya mengandalkan obat alami saja,  namun akhir-akhir ini sudah tidak ia minum lagi. Merekapun lanjut berlari,  hingga sampai kembali ke rumah masing-masing.

     Esoknya, seperti biasa tidak ada  yang menarik dengan keseharian Chika. Ketika istirahat tiba, ia hanya memakan bekal yang dibawa. Dan ketika bel berbunyi yang menandakan pelajaran berakhir. Lagi-lagi Aidan mengajak Chika untuk melihat dunia luar. Namun,  kali ini Aidan berhasil mengajaknya. Aidan membawa Chika ke Danau Biru Situ Cilembang. Ketika sampai disana Chika begitu terpesona dengan pemandangan yang memukau. Mereka duduk berdua di ayunan sambil melihat birunya danau. Ternyata dunia luar tidak semenakutkan yang dibayangkan begitulah yang dipikirkan Chika. Namun,  lagi-lagi ia termenung.

"Sttt... Chika, liat jawabannya dong"bisik Bela dengan aku yang menyerahkan lembar jawaban ujian dengan setengah hati.  Lagi-lagi hal ini terjadi,  rasanya ingin sekali menolak tapi seakan semuanya tertahan.  Aku takut... Bagaimana ketika aku menolaknya hal tersebut terjadi lagi.  Ya..  Kesepian akan mendatangiku kembali. Jika aku menolak, pasti Bela tak akan menemaniku lagi bersama dengan teman-temannya. Pengecut... Menyedihkan...Memuakkan... Lelah rasanya,  kapan aku terlepas dari belenggu ini. Aku berteman dengannya, suasana hati Bela itu tidak menentu. Terkadang ia baik sekali kepada orang lain tapi jika suasana hatinya memburuk dia seakan jadi orang yang egois, jahat dan aku membenci saat itu tiba. Ketika Bela mendapat peringkat satu,  dia beserta keluarganya bangga dan memberitahu semua orang akan hal itu.  Tapi,  akankah mereka tahu jika nilai yang didapatnya bukan dari kerja kerasnya sendiri,  bukan dari kejujurannya sendiri. Aku iri... Aku berjuang mati-matian,  aku jujur dengan menahan diri untuk tidak mencontek.  Tapi inilah yang aku dapatkan,  aku kalah dengan orang seperti Bela. Sebenarnya... Aku bangga dengan hasil yang aku peroleh dengan kejujuran,  yang membuatku iri dan kesel itu ketika orangtuaku tidak terima dengan hasil yang aku peroleh tersebut dan membandingkannya dengan Bela.

     Dua minggu berlalu, sekarang adalah pembagian rapot setelah selesainya ujian. Peringkatku menurun dari peringkat satu ke lima, sedangkan Bela peringkat ke enam. Lagi-lagi aku dimarahi orangtuaku,  mereka bilang Bela membawa pengaruh buruk terhadapku. Memang...biasanya ketika ujian aku tidak pernah main, namun waktu itu Bela mengajakku bermain dan aku tak bisa menolaknya atau risiko kesepian akan kembali padaku.

     Ketika kami memasuki sekolah menengah pertama,  Bela mendapat NEM tertinggi. Sebenarnya sekolah kami ketika ujian itu sudah diberikan beberapa jawaban oleh guru dan kita hanya tinggal menyalin saja. Namun,  aku sungguh naif sekali aku sok dengan diriku sendiri aku beranggapan bahwa apa yang sedang kami lakukan merupakan hal yang buruk dan aku tidak bisa mengikut hal tersebut.  Sekarang aku menanggung risikonya,  sekolah negeri tak ada yang mau menerimaku karenan NEMku tidak mencapainya. Dan lagi-lagi orangtuaku memarahiku dan membandingkannya dengan Bela. Aku benar-benar muak dengan semua ini,  apakah sebuah nilai lebih berharga dari pada kejujuran?  Apakah semua orang beranggapan seperti itu?  Apakah salah ketika aku memandang nilai tak lebih berharga dari kejujuran itu sendiri?

     Satu tahun berlalu,  ada kejadian yang tak terduga datang.  Bela memusihiku, aku menangis... Apa salahku? Apakah ia tak cukup menyiksaku? Bahkan aku rela difitnah olehnya.  Ketika itu,  Bela meminjam hpku dan membajaknya, ia mengirimkan sms kepada teman terbaikku yang lain, Ayu namanya. Ia bilang di sms tersebut bahwa aku membencinya, bahwa Ayu adalah orang yang sok cantik dan pintar. Ketika sms itu terkirim dan Bela mengembalikan hpku aku syok dengan hal yang terjadi, dan langsung mendapatkan balasan dari Ayu, Ayu bilang Chika yang selama ini ia kenal itu ga seperti ini,  tapi dia ga nyangka bahwasanya aku tidak sesuai apa yang dia pikirkan. Aku ingin membalasnya bahwa bukan aku yang mengirimkan itu,  tapi Bela mencegahnya. Hingga kinipun aku dan Ayu jika bertemu hanya diam saja tidak lagi bertegur sapa.  Apakah hal tersebut masih belum cukup Bela lakukan untukku,  sekarang malah ia kembali memusuhiku tanpa tau penyebab apa yang salah denganku. Aku lelah... Sangat lelah,  jadi aku biarkan saja ketika puas menangis.  Satu minggu berlalu, Belapun masih memusuhiku, tapi keadaan berbalik padaku ia malah dimusuhi dengan teman-temannya. Hingga ia kemana-mana sendiri,  aku ingin menghampirinya...menemaninya, tapi itu tidak aku lakukan karena aku itu memang pengecut.  Hingga hampir satu bulan, Bela masih dimusuhi oleh teman-temannya. Ketika itu,  Bela datang sambil menangis padaku dan membawa hadiah sebagai ungkapan maafnya.  Dari situlah perubahan Bela dimulai,  ia tidak lagi semenyebalkan dulu dan aku bersyukur akan hal itu. Dan ketika...

"Chika... Chika.. CHIKA"panggil Aidan dihadapanku setelah aku tersadar dari lamunan.

"Iya Ai?" balasku sambil mendongakkan kepalaku keatas hingga aku dapat memandang wajahnya.

"Lagi-lagi melamun,  kenapa si?  Kalau kamu ngerasa gelisah, takut atau apapun itu bilang aja.  Jika itu bisa ngeringanin beban yang kamu pikul"kata Aidan sambil menatap dalam mataku.

"Ah.. Aku hanya teringat masa lalu aja, tapi bukan masa lalu kita ya. Wle" kataku sambil berdiri meninggalkan ayunan dan Aidan sambil tersenyum. Setidaknya aku sekarang memiliki sahabat yang benar-benar peduli padaku dan aku bersyukur akan hal itu. Kamipun meninggalkan danau tersebut dan kembali pulang.

Aku mencintai dirinya lebih dari diriku sendiri. Terikat dengan seseorang membuatku mengetahui berartinya sebuah hubungan. Masih terasa ketika tangan itu menggenggam erat jemariku,  usapan lembut dikepalaku, senyum yang meneduhkan hatiku,  tawa renyah yang ia berikan padaku mengukir senyum dibibir ini. Sekarang... Aku tak bisa merasakannya lagi,  aku tidak bisa melihat senyum dan tawanya lagi,  aku...aku... aku benci ketika dunia tidak adil padaku.  Orang yang aku cintai meninggalkan diriku sendiri.  Hahahaha... Menyedihkan...sungguh menyedihkan... Lalu sekarang untuk apa lagi aku hidup sekarang.  Raka,  sekarang ia telah pergi, meninggalkan aku di dunia ini.  Tuhan...  Akankah kau be

Tok tok tok Ketukan pintu kamarmu terdengar,  aku berhenti mengetik dan langsung membukakan pintu.  Ternyata ibu,  katanya Aidan sudah menunggu dibawah.  Langsung saja aku mengambil tas berpamitan dan langsung menuju Aidan yang sudah menunggu untuk berangkat latihan pencak silat.

"Puisinya udah jadi? "tanya Aidan sambil terus berjalan.

"Ah.. Iya ini,  menurut Ai gimana"kata Chika sambil menyerahkan secarik kertas yang berisikan puisi yang ditulisnya. 

"Akukan udah bilang jangan terpaku sama diksi atau aturannya,  tulis aja apa yang ingin kamu tulis.  Jadi diri sendri itu penting Chik" kata Aidan setelah membaca puisi tersebut.

"Rasanya sulit Ai,  ketika kamu udah di doktrin melakukan hal itu walau kamu ga suka, susah rasanya untuk kembali sedia kala. Hahh... Andai aja dulu aku ga terpaku soal itu"keluh Chika sambil menatap keatas.

"Makanya pelan-pelan aja,  nanti juga terbiasa lagi.  Oiya gimana ceritanya udah selesai juga?"

"Iya... Iya.. Bawel dasar, kalo cerita mah belum selesai tapi aku udah buat endingnya bakalan sad, Raka aku buat meninggal"gumam Chika sambil melihat sekelilingnya.

"Kenapa? "

"Eh? "bingung Chika sambil menatap Aidan.

"Bukannya kamu ga suka nulis yang sad ending, terus tumben kamu nulis genre romancenya full.  biasanya juga thriller, yah.. Walaupun ada bumbu romancenya tapi  udah jadi ciri khas kamu sendirikan?  Akukan udah bilang berapa kali si Chik, jadilah diri kamu sendiri. Egois buat diri sendiri itu menurutku ga salah. Jangan pikirin yang orang lain katakan, kalo kamu masih mikirin itu terus, kapan kamu terlepas dari kebelengguannya"omel Aidan.

"Kamu kalo ngomong suka gampang"gumam Chika nyaris tak terdengar, namun Aidan yang memiliki telinga tajam kalimat itupun terdengar olehnya. Kemudian Aidan terpaku, benar apa yang Chika bilang, ia tak pernah merasakannya bagaimana ketika hal yang ia suka selalu dikritik oleh orang supaya hal tersebut menjadi sempurna sesuai keinginan mereka bahkan dengan mengorbankan dirinya sendiri. Ia tak pernah terfikir sampai kesitu, bukankah ia juga termasuk orang-orang tersebut yang hanya bisa mengkritik saja.

"Maaf"lirih Aidan

"Santai aja kali Ai, btw makasih yah udah peduli."kata Chika sambil mengukir senyum.

Tak peduli seberapa keras keinginanku,  ada saja orang yang akan mengkritikku. Seberapa keraspun aku melawan rasa takut,  ia akan muncul kembali meninggalkan jejak. Seberapa besar kepedulianku, pasti ada saja yang tidak menyukai. Seberapa penting kejujuran untukku,  ada saja kecurangan yang hadir. Seberapa keras membela diri,  ada saja yang tetap menyalahkan. Seberapa keras usahaku,  ada saja yang tidak puas. Seberapa keras aku mencoba,  kebelengguan ini akan terus mengikatku. Yang mengerti diriku hanyalah diriku sendiri. Dunia tidak melulu tentang aku, aku tidak bisa bergantung pada dunia ini. Walupun ada orang yang masih peduli padaku. Aku tidak bisa selamanya bergantung pada merekakan? Dan pastinya kebelengguan-kebelengguan ini akan terus menghantuiku. 

 

************************************************************************************

From : Intan Diamond

Comments

Post a Comment